Siapa yang tahu tentang kasus Akil Mochtar? Siapa
dia? Ya, benar. Beliau adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI yang
tersandung kasus korupsi. Dalam kasus ini, Akil diduga menerima pemberian
hadiah atau janji terkait penanganan sengketa pilkada di MK. Selain itu, Akil
yang juga mantan politikus Partai Golkar tersebut ditetapkan sebagai tersangka
kasus dugaan suap sengketa Pilkada Lebak dan Gunung Mas. Dalam pengembangannya,
KPK juga menjerat Akil dengan undang-undang tentang tindak pidana pencucian
uang (TPPU).
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)
telah menjatuhkan sanksi pelanggaran etika yang serius kepada Akil Mochtar
dengan ”pemberhentian tidak dengan hormat”. Tetapi saat MKMK dibentuk untuk
melakukan pemeriksaan pelanggaran etika kepada Akil ada kontroversi yang
menyertai. Yusril Ihza Mahendra misalnya mengatakan tidak ada gunanya
pembentukan MKMK karena jika sudah menjadi tersangka seperti Akil dengan
sendirinya sudah melakukan pelanggaran etika. Ada juga yang mengatakan,
pembentukan MKMK itu hanya sikap defensif MK karena ketuanya tertangkap tangan
melakukan tindak pidana korupsi. Yang lain mengatakan, pembentukan MKMK
merupakan langkah tumpang-tindih karena Akil sudah ditangani secara hukum oleh
KPK.
Hujatan keras masyarakat kepada Akil dan MK
adalah wajar. Kasus Akil telah mencoreng bukan hanya MK, melainkan telah
mempermalukan kehormatan negara Indonesia di muka dunia. Beberapa dubes kita di
luar negeri memberitahu Moh Mahfud MD,
kalau dulu MK dipuji-puji oleh para diplomat, sekarang ini malah dicibir sinis.
Tetapi, pembentukan MKMK untuk mengadili pelanggaran etika oleh Akil sangat
penting dan bukan tumpang tindih. Ada KPK dan ada MKMK dapat terus bertindak
menurut jalurnya sendiri. Ada beberapa alasan, mengapa MKMK harus dibentuk.
Pertama, benar, jika sudah tertangkap tangan
melakukan tindak pidana, hampir pasti pelanggaran etikanya sudah terjadi. Tetapi,
untuk menentukan bahwa pelanggaran etika itu benar-benar terjadi dan harus
dijatuhi sanksi, tentu harus ada proses dan forum resmi yang menetapkannya. MKMK-lah
forum dan prosedur untuk memberi baju atau bentuk atas kebenaran bahwa
pelanggaran etika itu benar-benar terjadi seperti yang dikatakan Yusril. Kalau
tidak ada MKMK, pelanggaran etika itu hanya menjadi wacana atau sekadar
anggapan.
Kedua, tidak benar, jika dikatakan
pemeriksaan etika oleh MKMK dan pemeriksaan hukum oleh KPK itu tumpang tindih.
Produk sanksi dari keduanya, jika yang bersangkutan terbukti bersalah, berbeda.
Sanksi yang bisa dijatuhkan dalam proses hukum di KPK adalah hukuman penjara,
penyitaan harta, dan sanksi pidana lainnya. Sedangkan sanksi pelanggaran etika
yang bisa dijatuhkan oleh MKMK adalah sanksi etik, termasuk pemberhentian tidak
dengan hormat sebagai hakim MK.
Ketiga, terhadap pernyataan bahwa jika proses
hukum pidananya kelak sudah terbukti bersalah, pemberhentiannya sebagai hakim
harus terjadi tanpa ada penghukuman etika dari MKMK itu pun kurang tepat dari
sudut kepentingan umum. Kalau pemberhentiannya harus menunggu proses hukum
sampai berkekuatan hukum tetap, MK sebagai lembaga negara menjadi sangat
terganggu, tidak efisien, dan kurang efektif. Untuk sampai pada berkekuatan
hukum tetap secara pidana kasus Akil ini sampai pada tingkat kasasi di MA,
kalau normal, diperkirakan perlu waktu hampir dua tahun; padahal kekosongan
hakim di MK tidak bisa dibiarkan berlangsung lama. Posisi Akil harus segera
diganti oleh hakim lain. Nah, pengisian kekosongan ini harus dilakukan melalui
pemberhentian secepatnya bagi Akil melalui MKMK.
Keempat, ada juga yang mengatakan, MKMK tidak
diperlukan karena Akil sudah menyatakan mengundurkan diri sebagai hakim
sehingga tidak perlu diberhentikan lagi oleh MKMK. Pendapat ini pun kurang
tepat. Kalau Akil diberhentikan dengan alasan yang bersangkutan sudah
mengundurkan diri berarti pemberhentiannya adalah pemberhentian dengan hormat
dan dengan hak-hak pensiun dan fasilitas lain sebagai mantan pejabat negara.
Padahal dalam kasus yang menggegerkan seperti kasus Akil ini hampir tak mungkin
kita bersetuju kalau Akil diberhentikan dengan hormat. Moralitas dan rasa keadilan kita akan
mengatakan, Akil harus dijatuhi hukuman pelanggaran etika terberat yaitu
pemberhentian tidak dengan hormat dan bukan pemberhentian dengan hormat. Sebab
itu, benar sikap MK, pengunduran diri Akil sampai sekarang tidak diproses
sampai ada keputusan MKMK. Jika seseorang melakukan pelanggaran kemudian
mengundurkan diri dan langsung dikabulkan, nanti akan banyak orang melanggar
dan segera mengundurkan diri sebelum diadili secara etik agar bisa
diberhentikan dengan hormat.
Ada alasan lain, yang kelima, di dalam
profesi-profesi lain seperti dokter, wartawan, ombudsman, dan akuntan selalu
ada pengadilan etika secara internal yang bisa menjatuhkan sanksi lebih dulu
kepada anggotanya sebelum ada putusan pengadilan jika yang bersangkutan
disangka, bahkan baru diduga, melakukan pelanggaran hukum. Wartawan yang
melakukan tindak pidana seperti pemerasan atau pemfitnahan bisa diberhentikan
lebih dulu sebelum proses hukum pidananya final. Jadi tidak ada yang salah
kalau MK membentuk MKMK yang kemudian segera memberhentikan Akil tidak dengan
hormat.
Menurut saya, saya setuju jika akil
diberhentikan tidak dengan hormat dan MKMK sangat berguna untuk dibentuk,
karena MKMK-lah forum dan prosedur untuk memberi baju atau bentuk atas
kebenaran bahwa pelanggaran etika itu benar-benar terjadi walapun ketuanya. Kalau
tidak ada MKMK, pelanggaran etika itu hanya menjadi wacana atau sekadar
anggapan. Dan mengapa lagi-lagi MKMK diperlukan karena proses hukum di KPK
hanyalah hukuman penjara, penyitaan harta, dan sanksi pidana lainnya. Sedangkan
sanksi pelanggaran etika yang bisa dijatuhkan oleh MKMK adalah sanksi etik,
termasuk pemberhentian tidak dengan hormat sebagai hakim MK. Oleh sebab itu
akil harus segera diberhentikan tidak dengan hormat, maka posisi Akil harus segera
diganti oleh hakim lain dan kekosongan ini harus dilakukan melalui
pemberhentian secepatnya bagi Akil melalui MKMK.
Melihat perkembangan proses hukum pada Akil
yang ternyata terlibat dalam sangkaan banyak kasus seperti korupsi, penyuapan,
tindak pidana pencucian uang, dan (teranyar) dugaan kejahatan narkoba memang
Akil ini harus diberhentikan tidak dengan hormat lebih dulu sesuai dengan
kewenangan majelis kehormatan yang diberikan peraturan perundang- undangan. Kita
tidak boleh menunggu selesai proses hukum yang pasti akan lama. Kita tak ingin
telanjur ada keppres pemberhentian dengan hormat, padahal hukuman yang layak,
di luar kasus pidananya, adalah “pemberhentian tidak dengan hormat”. Selanjutkan
tentang kasus akil anda bisa melihat berita dan membaca artikel lain yang
mengenai kasus akil. Saya hanya berpendapat. Terimakasih… :)
Sumber: